Sunday, September 21, 2008

MAAFIN AKU YA...........!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Malu, gengsi, takut, atau tak peduli, barangkali itulah yang jadi penghalang bagi banyak orang untuk mengakui kesalahannya dan minta maaf. Bukan hanya minta maaf yang sulit, memaafkan orang lain pun terkadang kita enggan.

Memaafkan dia itu sulit! Kalimat ini acap kali dilontarkan ketika seseorang merasa sangat kecewa. Kondisi ini jika dipelihara bukan tak mungkin akan menjadi bongkahan dendam bertahun-tahun. Dua, lima, atau bahkan lebih dari sepuluh tahun tanggapannya tetap sama, "Memaafkan dia itu sulit karena bla...bla..bla.."

Tidak demikian jika Anda mengaku bahagia. Kehidupan bahagia adalah kehidupan tanpa dendam dan kuncinya adalah memaafkan. Psikolog Monty Satiadarma mengatakan, jika kita merawat kemarahan dan menyimpan dendam, berarti kita sedang menimbun racun di dalam diri.

"Ketika punya kemarahan itu, kita selalu memikirkan hal-hal yang negatif sehingga energi (positif) tersita untuk mengatasi hal negatif itu. Prinsipnya, yang ada kan, selalu mengisi daerah kehampaan atau kekosongan sehingga energi kita yang masih ada disedot dan dihabiskan ke sana. Energi untuk membangun itu terabaikan," ujar Monty di sela-sela peluncuran buku Metamorfosis, karya rekannya sesama psikolog A. Kasandra Poetranto.

Oleh karena itu, Monty menyarankan agar setiap orang tidak bersikap bodoh dengan menimbun racun dalam diri. Sebaliknya, belajar memiliki kerelaan untuk melupakan kejadian di masa lalu tersebut. Menurut analisa para psikolog, ujar Monty, memaafkan menjadi sangat sulit ketika kepuasan dan impian seseorang tak dapat terpenuhi.

"Orang marah itu konsepnya adalah transference, yaitu pemindahan pola hubungan emosional masa lampau ke pola hubungan emosional masa kini," ujar Monty. Monty mencontohkan, seseorang yang tidak memeroleh pengakuan dan perhatian orangtua di masa lampau akan menjadi pribadi yang haus kasih sayang. Pada masa kini, dia akan mencari kasih sayang melalui partner atau temannya. Ketika dia tidak memerolehnya, dia akan marah.

"Apalagi kalau dia merasa direndahkan martabatnya. Kenapa? Karena dia tidak pernah mengalami sebelumnya, tidak ada proses pembelajaran. Standarnya dulu berbeda, tiba-tiba dia ketemu standar yang lain lagi, dia tidak bisa menerima. Tak dapat beradaptasi," tutur Monty.

Oleh karena itu, jelas Monty, kesulitan memaafkan orang lain sebenarnya berawal dari kesulitan memaafkan dan membuang amarah terhadap diri sendiri. "Dia terlalu kecewa karena tidak dapat meraih hal-hal yang mereka inginkan. Dia menjadi marah karena dia memproyeksikan perasaannya kepada orang lain," tandas Monty.

Bagi Monty, Lebaran dapat dijadikan momen religius untuk belajar memaafkan, di mana sebelumnya dalam momen berpuasa, Anda belajar menahan diri dan amarah. Namun, tegas Monty, jangan berusaha memaafkan hanya pada saat Lebaran. Berusahalah berjiwa besar dalam setiap momen hidup Anda.

Reff : Kompas,SABTU, 20 SEPTEMBER 2008 | 11:38 WIB

1 comment:

aniek106 said...

Do u remember what i've said several days ago when we were in the class?
Hei...its almost Lebaran day. It's a good even the best moment for us to apologize for having done wrong or hurt sb's feeling, isn't it? not only ask for apology but also we have to forgive another people's mistake. we live in our society so it is not impossible for us to make mistake with each other. therefore, let's open our heart to ask for apology and give forgiveness to the other...